Keppres tersebut direvisi setelah sejumlah koalisi masyarakat sipil serta jurnalis menyatakan keberatan dengan keputusan Presiden Joko Widodo tersebut.
Pasalnya satu dari 115 nama warga binaan yang menerima remisi, terdapat nama terpidana seumur hidup, I Nyoman Susrama, yang dipidana karena melakukan pembunuhan berencana terhadap wartawan Radar Bali, Anak Agung Ngurah Bagus Narendra Prabangsa.
Keputusan Presiden tersebut telah mengubah jenis hukuman Susrama, dari hukuman pidana seumur hidup kemudian diganti menjadi hukuman pidana sementara selama 20 tahun.
Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan Susrama adalah otak di balik pembunuhan itu. Ia diketahui memerintahkan anak buahnya menjemput Prabangsa di rumah orang tua Prabangsa di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009.
Prabangsa lantas dibawa ke halaman belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli. Di sanalah ia memerintahkan anak buahnya memukuli Prabangsa.
Dalam keadaan sekarat, Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Kemudian Prabangsa dibawa naik perahu dan dibuang ke laut. Mayatnya ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali, lima hari kemudian.
Penyidik Polda Bali menemukan motif pembunuhan Prabangsa terkait dengan berita tindak pidana korupsi pembangunan sekolah yang dilakukan oleh Susrama.
Tidak layak
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan sejumlah kelompok masyarakat sipil kemudian menyatakan keberatan dan menolak pemberian remisi kepada Susrama, tidak lama berselang setelah daftar nama penerima remisi diungkap oleh media.
Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menilai pemberian remisi tidak layak diberikan untuk koruptor sekaligus otak dari pembunuhan berencana seperti Susrama.
"Kami jelas menentang karena pemberian remisi seharusnya memenuhi prinsip keadilan. Tidak hanya bagi narapidana, tetapi juga keluarga korban dan masyarakat, terutama insan pers," kata Manan.
Manan berpendapat bahwa remisi merupakan hak yang diberikan kepada warga binaan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.
Namun prinsip pemberian remisi yang tertuang dalam Keppres 29/2018-2019 tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh Pemerintah sehingga Manan mempertanyakan prosedur pemberian remisi untuk Susrama yang dianggap tidak transparan.
Adapun syarat dari pemberian remisi berdasarkan Pasal 9 Keppres Nomor 174 Tahun 1999 adalah narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup telah menjalani masa pidana paling sedikit 5 tahun berturut-turut serta telah berkelakuan baik.
"AJI menganggap pemberian remisi itu sangat tidak tepat untuk kasus pembunuhan wartawan, apalagi ini pembunuhan berencana oleh seorang koruptor," kata Manan.
Sependapat dengan Manan, Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpendapat bahwa karakter pidana kasus Susrama tidak bisa digolongkan sebagai pidana biasa, sehingga yang bersangkutan dijerat hukuman seumur hidup.
Asfinawati berpendapat untuk menutupi kejahatan luar biasa seperti korupsi, Susrama melakukan kejahatan keji lainnya yaitu melakukan pembunuhan berencana.
Oleh sebab itu, Asfinawati berpendapat bahwa remisi yang akan diberikan kepada Susrama adalah hal yang aneh dan ganjil, mengingat Susrama tidak pernah mengakui perbuatannya.
"Maka pemotongan hukuman tidaklah pantas diterima oleh Susrama, dia tidak pernah mengakui perbuatannya sehingga dia sejatinya belum lulus menjalani sistem pemasyarakatan di lapas," kata Asfinawati.
Tanpa karakteristik kasus
Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan keputusan remisi Susrama, merupakan akibat dari tidak adanya "profiling" atau karakteristik kasus dalam prosedur pemberian remisi.
Bivitri menjelaskan sistem pemberian remisi dilakukan hanya berdasarkan sistem matriks atau berapa lama warga binaan sudah menjalani masa tahanan dari total lama hukuman yang diterima.
Dalam kasus Susrama, karena yang bersangkutan sudah menjadi warga binaan selama 10 tahun, maka dinilai sudah berhak mendapatkan remisi.
Kendati demikian, pemberi remisi dinilai tidak mencermati apa kasus yang menyebabkan Susrama dijatuhi hukuman seumur hidup.
Menurut Bivitri, karakteristik kasus terutama putusan pengadilan atas kasus warga binaan penerima remisi, sangat penting untuk dipelajari para pemberi remisi.
Bivitri menilai bahwa remisi yang diterima oleh Susrama tidak ubahnya seperti grasi, karena pada dasarnya remisi tidak mengubah hukuman yang berdasarkan putusan pengadilan, namun hanya mengurangi saja.
"Di sini hukuman Susrama yang sebelumnya hukuman seumur hidup diubah menjadi hukuman pidana sementara, ini merupakan pegampunan model grasi bukan remisi karena remisi hanya mengurangi tanpa mengubah jenis hukuman," ujar Bivitri.
Kado terindah
Keberatan masyarakat dan jurnalis terhadap Keppres 29/2018 akhirnya berakhir bertepatan dengan Hari Pers Nasional yang dirayakan setiap tanggal 9 Februari.
Hal ini disebabkan karena Presiden Jokowi akhirnya melakukan revisi Keppres 29/2018 dengan mencabut remisi untuk Susrama.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan mengatakan pencabutan remisi untuk Susrama merupakan kado indah bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN).
"Kebijakan Presiden Joko Widodo yang mencabut remisi untuk Susrama tepat dengan momentum Hari Pers Nasional pada Sabtu (9/2) kemarin, menjadi kado indah pemerintah dalam penghormatan terhadap profesi insan pers," ujar Jimmy.
Dicabutnya remisi untuk Susrama tersebut, merupakan bentuk akomodir Pemerintah atas keberatan masyarakat terutama insan pers yang berulang kali diajukan kepada Presiden Joko Widodo.
Selain itu pencabutan remisi tersebut juga menjadi refleksi lemahnya Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi, hal ini terbukti karena revisi Keppres 29/2018 lebih mengakomodir keberatan kelompok masyarakat yang tergabung dalam solidaritas jurnalis sesuai UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jelas Jimmy.
Kendati demikian Jimmy menilai secara prosedur hukum, pemberian remisi itu sudah benar adanya karena berdasarkan dengan aturan tertulis yaitu Keppres 174/1999.
Namun Jimmy tidak menampik bahwa memang ada persoalan mendasar di dalam Keppres 174/1999 yang selama ini menjadi dasar dalam perubahan status pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara.
"Sebab hakikat remisi adalah pengurangan masa hukuman pidana penjara, bukan perubahan status pidana, karena perubahan status pidaa merupakan ranah grasi," tambah Jimmy.
Meskipun revisi atas Keputusan Presiden Nomor 29/2018 dinilai tepat, namun hal itu tidak dapat diartikan revisi terhadap Keppres 174/1999 dapat terus ditunda.
Membiarkan kesalahan sistem hukum dalam aturan tersebut dapat terus menerus membiarkan kasus serupa kembali berulang, menyebabkan penolakan serta keberatan juga akan terus terjadi.
Baca juga: Presiden Jokowi resmi mencabut remisi untuk pembunuh wartawan Radar Bali
Baca juga: Pakar: Pencabutan remisi Susrama jadi kado indah HPN
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Susrama yang tak layak mendapat remisi"
Post a Comment