Jakarta (ANTARA News) - Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal menyatakan bahwa kerja sama patroli trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina harus dikaji ulang menyusul penculikan dua nelayan WNI oleh kelompok bersenjata pada 11 September 2018.
Penculikan yang terjadi di Perairan Semporna, Sabah, Malaysia, itu merupakan yang pertama kali terjadi sejak ketiga negara melaksanakan patroli laut dan udara terkoordinasi sejak Januari 2017.
"Patroli trilateral mulai efektif dilakukan pada Januari 2017, sejak itu tidak ada penyanderaan lagi sampai 11 September 2018. Dengan adanya kejadian ini kita perlu mengkaji kembali apa yang salah, kenapa bisa kecolongan lagi," kata Iqbal dalam konferensi pers di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Rabu.
Untuk merespons penculikan atas Syamsul Saguni (40) dan Usman Yunus (35), Konsulat RI di Tawau dan Konsulat Jenderal RI di Kota Kinabalu segera mengeluarkan imbauan kepada WNI yang bekerja di sektor perikanan Malaysia agar tidak melaut untuk sementara waktu.
Imbauan tersebut dikeluarkan per 13 September 2018 dan baru akan dicabut jika situasi keamanan dipandang kondusif dan telah diperoleh jaminan keamanan dari otoritas setempat.
Menlu RI Retno Marsudi juga telah berkomunikasi dengan Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah untuk menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kejadian tersebut dan meminta jaminan keamanan bagi WNI yang bekerja di wilayah Sabah, khususnya yang bekerja sebagai nelayan.
Berdasarkan data Kemlu RI, saat ini tercatat enam ribu WNI bekerja di sektor perikanan di Sabah, Malaysia.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang yang ikut mengupayakan pembebasan ketiga WNI yang disandera di Filipina selatan, sempat menemui Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk dan membicarakan kerja sama patroli trilateral ini.
"President Duterte merasa puas dengan adanya kerja sama trilateral joint patrol, tetapi beliau mengusulkan untuk meningkatkannya menjadi joint operation," kata Dubes Harry.
Namun, kata Harry, Presiden Duterte tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai usulan operasi bersama tersebut karena harus dibicarakan dengan pemerintah serta militer ketiga negara.
Baca juga: Tiga WNI yang disandera dikembalikan ke keluarga
Patroli keamanan trilateral diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pertemuan dengan para menteri luar negeri, menteri pertahanan, serta panglima angkatan bersenjata Indonesia, Malaysia, dan Filipina pada 2016.
Kerja sama ini dianggap perlu untuk melindungi wilayah Perairan Sulu (Filipina), Perairan Sabah (Malaysia), serta Perairan Sulawesi dan Maluku (Indonesia) dimana sering terjadi tindak kriminal penculikan oleh perompak.
"Perairan ini memang rawan tetapi merupakan jalur pelayaran strategis, karena itu Presiden Jokowi memprakarsai patroli trilateral agar perairan ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan suplai logistik ketiga negara," Iqbal menjelaskan.
Pada 14 September lalu di Manila, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu mengusulkan latihan bersama Angkatan Darat kepada Filipina dan Malaysia untuk mengatasi aksi teroris di wilayah perbatasan ketiga negara, dalam kerangka Kesepakatan Kerja Sama Trilateral (TCA).
Dalam pertemuan dengan Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan Menteri Pertahanan Malaysia Mohammad Bin Sabu tersebut, ketiga negara menganggap perlu melakukan latihan bersama sebagai upaya yang lebih komprehensif untuk melakukan operasi penanganan teroris
Rencana latihan bersama ketiga negara yang akan kembali dibicarakan dalam pertemuan lanjutan di Johor Bahru, Malaysia , pada Oktober mendatang, juga perlu disesuaikan dengan pola operasi yang dilakukan para teroris dalam melakukan aksinya.
Baca juga: Indonesia usulkan latihan bersama atasi teroris
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Edy Sujatmiko
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kemlu sebut patroli trilateral harus dikaji ulang"
Post a Comment