"Yang saya amati saat ini adalah warga tidak berminat pada pentas kampanye yang bernuansa gemerlapan. Jika hal itu sampai terjadi maka belum tentu menjadi jaminan bahwa calon legislator yang kampanye besar-besar di mana-mana akan dipilih," katanya kepada Antara di Kupang, Senin.
Antropolog Budaya dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang mengemukakan hal itu berkaitan dengan kurang kedengaran gaung Pileg dan Pilpres di Nusa Tenggara Timur, padahal masa kampanye telah dibuka oleh KPU.
Menurut rohaniawan Katolik itu penampilan politik para calon legislator kini berbeda jauh jika dibandingkan dengan penampilan politik pada era 1990-an.
Pada saat itu, kata Gregor, legislator beramai-ramai menggelar kampanye dengan cara yang gemerlapan, konser band dan membawa serta artis-artis dari ibu kota.
Ia mengatakan jika sebelumnya ada iklan dan baliho berjalan seiring dengan kampanye publik dengan memusatkan massa pada lokasi tertentu.
"Tetapi kali ini, iklan dan baliho tampak sepi, mungkin juga karena musim hujan dan iklim yang tidak menentu, atau juga cara menghemat biaya untuk tidak mengumpulkan massa, melainkan berkampanye dari rumah ke rumah," ujar dia.
Selain itu juga media sosial deperti Facebook, WhatsAp, iklan di koran mempunyai peranan yang sangat penting bagi kampaye politik para legislator.
"Kekuatan medsos hemat saya masih ada, namun jika tidak ditunjang dengan pendekatan hati dari rumah ke rumah (door to door), maka hasilnya akan menuai kegagalan," katanya.
Pater Gregor menambahkan bahwa kali ini ada satu gerilya politik yang menjadi manuver utama calon legislator, yakni berkunjung secara diam-diam ke tengah warga masyarakat, dan beramal dari rumah ke rumah.
Tujuannya adalah agar para calon legislator bisa mengetahui persis (dan pasti) siapa yang bakal memilihnya.
Baca juga: Bawaslu Batam: Ratusan baliho kampanye salahi aturan
Baca juga: Paloh dukung perubahan gaya kampanye Jokowi
Baca juga: Sandiaga Uno janji tingkatkan pariwisata setempat
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Antropolog: masyarakat tak suka dengan kampanye bergemerlapan"
Post a Comment