Robikin di Jakarta, Rabu, mengatakan dalam perjalanan kebudayaan, predikat alim atau ulama dilekatkan kepada orang yang menguasai di bidang ilmu agama dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat karena dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan ilmu agamanya.
"Penguasaan ilmu agama, konsisten, kredibel, dan panutan adalah kata kuncinya. Karena tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut alim atau ulama," katanya.
Ia lantas mencontohkan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda dan ahli politik imperialis pada era kolonial, yang dikenal sebagai orang yang belajar dan menguasai Al Quran.
"Kalau dasarnya hanya penguasaan ilmu, Snouck Hurgronje pun layak disebut ulama," kata Robikin.
Namun, lanjut dia, tak seorang pun yang menyebut Snouck Hurgronje sebagai pribadi yang alim, sebagai ulama. Apalagi menjadikannya sebagai panutan.
"Karena ia tidak mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Bahkan mempelajari Al Quran untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak menunjukkan adanya konsistensi pada dirinya," katanya.
Hal lain yang tak kalah penting, kata Robikin, predikat alim atau ulama dalam sejarahnya tidak lahir dari rekayasa sosial, apalagi dimaksudkan demi kepentingan duniawi berupa pencitraan politik, misalnya.
Selain itu, predikat alim atau ulama adalah status sosial, bukan jabatan politik atau gelar akademik produk lembaga atau forum tertentu.
"Predikat alim atau ulama secara alamiah lahir dari rahim sosial, bukan dilahirkan atas dasar kesepakatan bersama dalam suatu forum permusyawaratan," kata Robikin.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "PBNU: Snouck Hurgronje pun ulama kalau dasarnya hanya penguasaan ilmu"
Post a Comment